DAWAI CINTA DI YOGYAKARTA



CERITA CINTA - Malam riuh merekah, padat, penuh, diriku tak bisa tersibak oleh sosokmu lagi. Karena kamu sempurna meninggalkanku. Aku pergi menuju kota pelajar ini untuk mencari segenggam ilmu, bekal masa depan dan mendidik anak kita. Namun sayang. Usai, kisah kita sudah usai bersamaan kamu mendapatkan pengganti baru. Sudahlah tak mungkin kamu memikirkanku. Sesak, penuh kecewa bila bayangmu tersirat kembali dimemoriku.

Malioboro tempatku bersinggah menghapus penat, kali ini aku sendiri. Sahabatku entah sesibuk apa dia, malam ini enggan menemani aku untuk menikmati indahnya kota Yogyakarta. Sepadat apapun, seriuh ombak bergemuruh dipantai, aku tetap menyukainya. Indah berhias budaya dan seni. Meninggalkan sejenak bangku perkuliahan. Menikmati liburan akhir pekan. Sesering apapun aku mengunjunginya. Tak akan pernah jenuh itu yang aku rasa.

Duduk dikursi pinggiran jalan. Hilir mudik wisatawan dalam negeri maupun manca negara, mataku sibuk melihatnya. Para asongan berteriak menjajakan dagangannya.Satu ini yang selalu aku nantikan, musisi jalanan yang selalu hadir dengan alunan dawai menghias syair yang indah tercipta. Aku selalu menantikannya. Kuteguk kopi hangat, sesekali menerka malam ini dimana akan Kau letakkan kebahagiaan untukku Tuhan. Aku menantinya.

Musisi jalanan menghampiriku, bukan hanya satu dua orang. Malam ini, kali pertama aku temukan musisi jalanan yang berbeda. Sedikit tersenyum simpul. Aku tertunduk. Musisi jalanan tampak seperti anggota boy band terdiri dari lima orang. Rapi, stylish, keren kataku.
“Malam mbak. Sendirian saja? Mau request lagu apa? Malam ini khusus untuk mbaknya yang lagi galau.” Sedikit merayu katanya sambil memetik gitar mengambil nada.
“Ehmmm, A thausand years.” Kataku lirih.
“ I had dead everyday waiting for you.
Darling don’t be afraid i have love you.
For a thausand years, love you for a thausand more.
Selamat malam terima kasih.” Lembaran patimurra berpindah tangan, sebagai ucapan terima kasihku untuk petikan dawai malam ini.
Segerombolan pemuda musisi jalanan tadi menghilang dari hadapanku, berpindah tempat. Aku kembali sendiri. Hanya malam dan riuh suara wisatawan hilir mudik. Kuteguk lagi sisa kopi yang mulai dingin. Mataku terarah pada benda yang asing mampang didepanku. Sedikit ragu untuk mengambilnya. Karena rasa penasaran yang menggebu akhirnya tanganku meraih benda hitam, yang ternyata itu dompet. Inikah Tuhan meletakkan kebahagiaan malam ini. Mungkin aku dijatuhi rejeki malam ini. Aku buka, isinya lumayan banyak. Bisa dibilang wow untuk anak kuliahan. Sedikit memicingkan mata untuk mengingat sesuatu. Foto. Foto yang ada di dompet ini familiar. Aku pernah melihatnya. Tapi siapa? Bnayak orang yang lewat, hilir mudik didepan mataku. Asongan, wisatawan, musisi jalanan. Oh iya ingat, memoriku kuat. Foto yang didompet ini mirip salah satu dari gerombolan musisi jalanan yang sekian menit baru saja menghibur aku. Segera akau beranjak meninggalkan tempat dudukku.
Berjalan menyibak keramaian. Mencari si pemilik dompet. Berharap menemukannya. Rasanya terlalu banyak musisi jalanan dan padat wisatawan membuatku sulit mengamati dengan jelas. Lelah dari ujung sampai ujung. Tertinggal beberapa menit saja aku sudah ketinggalan jejak. Sudah hampir jam sepuluh malam. Aku putuskan untuk menyimpannya terlebih dahulu. Aku harus kembali ke kost agar mendapatkan pintu masuk.

Sepi, kostku hampir tidak ada suara kehidupan. Mungkin sudah pada tidur. Malam ini sedikit penat terkelupas dari otakku.Masa lalu, sedikit lagi aku bisa lenyapkanmu dari benakkku. Kurang satu langkah lagi. Kembali aku membuka dompet yang aku temukan untuk mencari alamat si pemilik. Hasilnya nihil tak ada nomer handphone yang bisa aku hubungi, alamat asli yang sangat jauh dari luar kota Yogyakarta, tak mungkin aku kesana jika pemiliknya saja berada disini.

Handphoneku berbunyi satu pesan masuk.
“Fi, maaf td gak bsa tmani kmukluar, aku kena DB, ini di RS.” Teman sekelasku yang sangat akrab, Alisa namanya. Dia yatim piatu dan tinggal di Panti Asuhan.
Dan aku sesegera mungkin membalasnya karena gugup campur kaget.
“Iya Lis, aku kesitu skarang, kmu sms in ruangnya ya?”
Kuputuskan untuk keluar lagi sekalipun malam begitu larut. Demi sahabatku. Tak apalah malam ini tidur di rumah sakit. Angin malam begitu menerpa tubuhku. Dingin. Tapi akan lebih kedinginan jika aku tidak berada didekat sahabatku yang sedang sakit. Semalaman aku menunggui Alisa sampai ia benar-benar tidur. Bukanya istirahat Alisa malah mengajak aku ngobrol sampai pasien sebelah menegur. Dini hariku kami baru memejamkan mata.

Kutinggalkan Alisa setelah aku selesai menyuapinya sarapan pagi. Aku harus kuliah hari ini. Selalu terpasang headshet ditelingaku kemanapun aku pergi, kecuali kalau diajak bicara. Aku tidak tahan kalau seharian tidak mendengarkan musik. Kuliah rutinitasku, sekalipun itu membuatku jenuh aku tetap harus duduk memperhatikan dosen dan mendengar musik dari handphoneku. Itulah aku jika titik jenuhku memuncak.
Pulang kuliah aku harus menjemput Alisa yang sudah boleh dibawa pulang. Wajah Alisa begitu sumringah bahagia menyambutku. Tidak sabar kembali ke panti asuhan, bergabung dengan adik-adik panti yang lucu-lucu menggemaskan dan ibu panti yang layaknya orang tua sendiri. Sepanjang perjalanan ke panti Alisa hanya mengeluh bahwa ia bosan tinggal dirumah sakit, makanannya itu-itu saja, sepi.

Sampai di panti sudah ada kejutan, syukuran kecil-kecilan menyambut Alisa yang sudah senbuh. Dan disini aku tercekat, tenggorokanku kering seketika. Hatiku beradu dengan rasa bersalah dan kaget. Aku melupakan sesuatu. Sesuatu yang seharusnya aku selesaikan sejak kemarin. Mungkin sifat lupaku membuat orang lain susah. Gerombolan musisi jalanan hadir di panti itu juga. Dalam rangka memberikan donasi bulanan. Pantas saja hatiku berdebar terkagetkan melihat sosok mereka.
“Hai mbak galau” Sapa salah satu dari kelima pemuda, mungkin seumuran denganku.
“Iya, kalian disini juga? Ngapain?” tanyaku gugup.
“Ini mbak acara bulanan, biasa.”
“Oh begitu ya.” Aku sedikit mendelik, bingung memulainnya untuk menjelaskan dompet dari salah satu mereka masih aku simpan.
Setelah menikmati syukuran kecil-kecilan, gerombolan musisi jalanan memohon ijin kepada ibu panti untuk pamit. Semua penghuni panti berterima kasih kepada mereka. Mengantarkan sampai pintu gerbang. Satu persatu sudah siap ditempat duduk, sebelum mereka meluncur dengan mobilnya, aku memberanikan diri memulai percakapan.
“Bentar mas, saya mau ngomong tapi jangan marah ya?”
“Iya mbak silahkan, kami mau mendengar mbak cantik ngomong kok. Tenang saja.” Kata salah satu dari mereka sedikit meerayu.
“Begini mas, kemarin waktu ngamen di Malioboro salah satu dari kalian ada yang kehilangan dompet tidak?” Tanyaku sedikit terbata, berkesan basa-basi.
“Iya mbak saya. Memangnya kenapa mbak?”
“Saya yang menemukannya mas, tapi ini dompetnya di kost. Bagaimana mau mengembalikannya?”
“Ya sudah, nanti malam saja mbak ke Malioboro tempat dimana dompet kemarin jatuh, nanti aku kesitu, ini aku kasih nomor handphone saya.” Sambil menulis disecarik kertas kemudian berlalu meluncur dengan mobilnya. Padahal aku belum merespon permintaannya. Ya sudah aku anggap menyetujuinya.

Bintang-bintang berkerumun memenuhi langit malam. Bulan sabit menggantung sedikit tertutup awan. Duduk sendiri dipinggiran jalan Malioboro. Menunggu sosok yang membuat janji. Selama apapun dia datang aku tidak peduli, karena tempat ini terlalu menghipnotisku untuk merenung mengenang masa lalu. Aku belum sempurna melenyapkannya. Pemuda itu datang membawa gitar, namun sendiri tanpa kawan disampingnya.
“Hai mbak lama menunggu?”
“Tidak kok, ni dompetmu. Lihat dulu isinya masih utuh kan?”
“Iya percaya mbak baik, sebagai tanda terima kasih aku mau menyayikan lagu buat mbak.”
Aku ikut hanyut dalam alunan dawai yang mengiringi lagu Romantis malam ini. Aku bahagia, aku meresapinya. Setelah usai kami berjalan menghampiri penjual jagung.
“Oh iya, dari kemari kita belum kenalan, aku Hasan. Mbak siapa?
“Aku Fiola, panggil aja Fi.”
“Hehe siap deh Fi.”
Menikmati jagung bakar berdua, ditengah ruiuh gemuruhnya wisatawan dari berbagai penjuru. Bertukar cerita mengenai perkuliahan. Kami sama-sama kuliah di satu tempat yang sama, namun berbeda program study, andai aku lebih jeli menggledah isi dompetnya, pasti aku akan menemukan kartu mahasiswa yang sama. Malam sudah begitu larut, aku harus pulang. Sebelum aku terkunci dan tidak bisa masuk kost. Berpamitan dengan Hasan, kuputuskan untuk mendahuluinya pulang.

Hari berlalu begitu cepatnya, kini sudah memasuki akhir pekan lagi. Saatnya menghilangkan penat di Malioboro bersama Alisa. Berjalan berdua, keliling menikmati ramainya kota Yogyakarta, menyibak ramainya wisatawan. Lampu kota kerlap-kerlip pancarkan elok sinarnya yang mampu menerangi kawasan Malioboro. Malam ini kami berdua menikmati jagung bakar dibawah pohon. Hangat rasanya, sahabat mampu menghilangkan sedikit rasa kecewaku akan masa lalu, namun belum sempurna. Harus kutempuh satu langkah lagi, namun jalan belum tunjukkan arahnya untuk aku tapaki.

Sibuk berbincang dengan Alisa, sosok Hasan datang menghampiri dari balik arah yang tak sempat aku ketahui. Dawai gitarnya membuatku tersentak dan menoleh. Malam ini lagi-lagi dia sendiri. Menyanyikan sebuah lagu untukku tanpa aku minta. Aku selalu terhanyut dengan alunan nada dawai yang membingkai syair indah, menghibur hati, menghapus sedikit rasa kecewa.
“Selesai. Kalian sudah lama disini?” tanyanya sambil meletakkan gitar.
“Sudah mungkin dari satu jam yang lalu. Oh iya ini Alisa sahabatku yang tinggal dipanti itu. Alisa ini Hasan, donatur panti yang kemarin berkunjung.” Aku salingmemperkenalkan mereka.
Jagung bakar selalu menghangatkan malam kami, rasa yang terkombi, manis, pedas, asin layaknya kisah yang aku alami. Sedikit pudar rasa kecewa itu luluh jika aku sering bersama mereka. Aku merasakan duniaku hidup lagi. Sedikit demi sedikit aku beranjak meninggalkan pilu yang sejak dulu aku rasakan.
“Cemong, mulut kamu cemong Fi.” Tangan Hasan spontan mengelap tepi bibirku.
“Makasih.” Kataku sambil memindahkan tangannya.
Alisa melirik kami, terlihat senyum simpulnya dari samping. Jadi salah tingkah, Hasan meminta maaf benar tadi hanya spontanitas, tidak ada maksud lain. Kembali menikmati sisa jagung yang tinggal separuh. Mengabadikan gambar dengan, berfoto dengan Hasan. Begitu juga dengan Alisa. Malam ini aku bahagia bersama mereka. Sebelum meninggalkan Malioboro, Hasan kembali mengalunkan nada, dipetiknya dawai-dawai itu seirama dengan syair yang dilantunkan. Hatiku bergetar tiap mendengar petikan dawai, hampir saja, aku terlarut dalam alunan syair yang dibawakan Hasan. Hampir saja. Satu langkah lagi mungkin. Hatiku akan kembali pulih.

Dua pekan aku tidak berkunjung ke Malioboro, tugas benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Aku dan Alisa sibuk mengerjakan tugas, jarang refresing. Rasanya penat setelah dua pekan hanya di kost, di kampus dan main ke panti. Itu-itu saja. Dan malam ini sungguh beda dari malam-malam sebelumnya. Sangatlah berbeda. Ponselku berdering.
“Halo Fiola”
“Iya, siapa ya?” Tanyaku penasaran.
“Ini aku, Rio, Fi bisa bertemu tidak, aku hari ini berlibur di Yogyakarta, aku tunggu di Malioboro ya.”
“Bagaimana ya, ehhhm.” Aku bingung menjawabnya.
“Maulah Fi, kita kan jarang bertemu.” Rajuknya membuatku mengiyakan ajakannya.

Malam menampakan pekatnya namun tetap ditemani sang bintang yang bertebaran dan bulan yang menggantung sedikit tertutup awan. Tugas selesai, meluncur ke Malioboro tanpa Alisa, handphonenya tidak aktif. Menyebalkan jika harus pergi sendirian. Menemui dia yang sering membuatku galau dimalam, setelah dia mengirim pesan menentukan tempat untuk bertemu akupun berjalan menuju tempat tersebut. Dibawah pohon, pinggiran jalan Malioboro yang selalu riuh tak pernah menyisakan sunyi sedikitpun. Kutemui sosok yang dulu aku kenal, dulu yang aku sayang. Sungguh berdebar dan mengejutkan, mendadak sunyi aku rasakan, sepertinya waktu terasa berhenti. Hanya terdengar degub jantungku yang tak menentu. Dua insan menatap terpaku, sungguh berbeda yang kurasakan kali ini. Tiap malam aku selalu mengenangnya, memikirkannya disini. Kini kurasakan hambar, semakin aku fikirkan ternyata pertemuan ini benar-benar hambar. Tidak ada istimewanya lagi. Kukira sedikit rindu akan menghiasi pertemuan ini. Perempuan yang kini duduk disamping Rio membuatku tersenyum. Menyapa ramah namun tak seramah hatiku malam ini.
“Hay Fi, apa kabar? gimana kuliahnya, kenalkan ini tunanganku Rima.” Aku menjabat tangan Rima kemudian Rio.
“Iya baik, berapa hari disini? Sedang liburan atau ada tugaskah?” Tanyaku basa-basi, menutupi sedikit rasa itu.
Cerita panjang lembar mengenai perkuliahan, rencana pernikahan mereka. Semua nyata aku dengarkan langsung dari mulut mereka. Kabar bahagia itu membuatku ingin segera meninggalkan tempat ini. Lama berbincang, mereka nyaman dengan keramahanku. Memutuskan untuk pamit dengan alasan Rima sudah ngantuk. Aku mempersilahkan mereka. Bayangannya menghilang dibalik gerombolan wisatawan lain yang hilir mudik.
Seiring menghilangnya sepasang kekasih yang sedang berbahagia. Aku berjanji tidak lagi menghabiskan malam untuk merenungi masa lalu. Sekarang aku harus menemukan jalanku. Rio bukan jalanku, aku pahami itu. Hambar, benar-benar tidak istimewa lagi. Tersisa Malioboro yang istimewa menemaniku dimalam hari. Ingin rasanya mendengar petikan dawai untuk menemaniku meneguk secangkir kopi hangat, yang aku pesan dari pedagang kopi asongan.

Nada-nada dawai membingkai syair bergelanyutan di telingaku. Aku mengenal suara itu. Benar Hasan datang bersama empat temannya menuju kearahku. Kali ini tidak untuk mengamen. Alisa hadir juga bersama mereka. Lagu yang pertama kali aku request dia nyanyikan kembali didepanku. Empat temannya melantunkan syair dan memetik dawai gitar, Hasan melangkah maju memberikan bungkusan untukku, aku membukanya. Berisi cangkir cantik bergambar gitar dan fotoku dan foto Hasan serta tertulis “open your heart to me”. Inikah langkah terakhir yang ada didepan mata, untuk menghapus segala rasa kecewa? Disinikah Tuhan meletakkan secuil bahagia untukku. Hati kecilku sudah berbisik. Aku menjadikan Hasan orang yang istimewa malam ini.

Menikmati jagung bakar dan secangkir kopi, Alisa dan keempat teman Hasan ikut serta. Rame rasanya, bintang masih bertebaran dilangit, dan bulan sabit menggantung indah tersibak sudah awan yang menyelimutinya. Pemetik dawai gitar yang menemaniku setiap akhir pekan ternyata kebahagian yang tidak aku sadari, satu langkah terakhir yang selalu didepan mata. Dan di Malioboro aku berhasil mengarahkan jalanku, terpendam sudah masa lalu, tersambut alunan nada dawai gitar yang menyatukan aku dan Hasan.
“Fi, aku tuh suka kamu sejak pertama bertemu. Waktu kamu galau ngelamun gak jelas.”
“Kamu perhatiin aku ya? Untung dompet kamu jatuh, jadi aku bisa bertemu kamu lagi.” Hasan tertawa sambil mengusap rambutku.
“Jangan galau lagi Fi, Malioboro yang seindah ini harus kamu nikmati, aku akan temani kamu bersama gitar ini dan rangkaian syair indah supaya kamu selalu tersenyum cantik, secantik kota Yogyakartaini.”
“Tuh kan gombal. Makasih ya San untuk semuanya.” Saling menatap, dan membuang pandangan lurus keatas, bintang menari dan bulan tersenyum melihat kami. Hasan menarik tanganku meninggalkan keempat temannya dan Alisa, berlarian menggandengku, sambil berteriak nakal bahwa dia sayang padaku. Tak sedikitpun malu dengan keramaian ini, rasanya semua orang memperhatikan kami.

Sejak malam itu, aku dan Hasan sering menghabiskan akhir pekan di Malioboro. Duduk santai berdua menikmati jagung bakar dan secangkir kopi. Tidak lupa telingaku dimanjakan lagu romantis dan petikan dawai yang selalu aku rindukan. Melalui petikan dawai Tuhan menghantarkan cintaku dan di Malioboro kisahku terukir.

INDOPK | Agen Poker Online Domino qq dan Bandar Ceme Terpercaya

Promo INDOPK
<> Bonus Bulanan ( Hadiah Utama 20 juta )
<> Bonus New Member 10% ( Minimal Deposit 25.000 )
<> Bonus Rollingan 0.5% ( Dibagikan setiap hari Rabu )
<> Bonus Referral 20% ( Seumur Hidup )
<> Bonus Jackpot Jutaaan Rupiah Disetiap Hari nya

Posting Komentar

0 Komentar